Membacalah dan Menulislah

Jumat, 03 Februari 20170 komentar




http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2017/02/membacalah-dan-menulislah.html
 Gambar di edit dari dua sumber : Dennichandra.com dan kupasbahasa.blogspot.com

Saya kemarin membaca tulisan singkat Mas'ud Ali di facebook-nya yang membuat saya ingin menulis pagi ini. Dalam statusnya itu dia berkata bahwa "banyak orang sibuk menulis sampai lupa membaca, dan sebaliknya banyak sibuk membaca sampai lupa menulis". Saya pun terpikir dan sependapat dengan tulisan singkat penuh makna itu. Karena memang sesuai realita yang ada, terutama pada diri saya.

Membaca dalam perspektif saya diidentikkan dengan mengeja tulisan dalam berbagai sumber bacaan, bisa di kertas, layar elektronik, bahkan membaca kehidupan. Dari itu semua yang kemudian kita dapat memperoleh khazanah baru. Misalkan berupa pengalaman, pengetahun, dan ilmu. Kemudian semua itu akan dikemanakan lagi, tentu ada yang disampaikan ke orang lain atau disimpan sendiri. Tentu walaupun kedua-duanya diinginkan pasti ada alat untuk menyampaikannya salah satunya tulisan.


Menulis pun ada dua cara, ada yang lebih cekatan dengan menulis di kertas dengan pena dengan tujuan  menambah daya ingat dan juga yang secara spontan menulis dengan mengetik di keyboard atau di layar kaca. Dalam tulisan singkat ini saya ingin berbagi tulisan yang fokus membahasa tulisan dari hasil sebuah bacaan dalam sebuah buku.

Sejauh mana buku mempengaruhi kehidupan, tentu setiap orang punya pengalaman sendiri-sendiri. Ada orang yang sekali baca, langsung buku mempengaruhinya. (saya jadi ingat seorang teman). Suatu saat saya pinjam buku how to membudidayakan adeniu, sampai bagaimana memasarkannya. Buku itu mempengaruhi hidupnya. Kini, berpapasan di mana pun dengannya, selalu pokok pembicaraannya tantang adenium!). Namun, adapula telah melahap sekali banyak buku, perilakunya tetap sama dengan kemarin.

Apakah setiap penulis adalah pembaca. Secara acak, sebutlah siapa penulis yang anda kenal. Apakah dia seorang pembaca ulung? Pasti. Paling tidak, membaca topik yang berkaitan dengan minat dan dunianya. Jika misalnya dia novelis, yang berkaitan pasti sedang membaca karya riwayat para novelis dunia (dan juga Indonesia).

Tali temali antara membaca dan menulis sangat erat. Sebagimana kata-kata bijak di atas, tidak seorang pun dapat memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Penulis pun demikian. Seorang penulis tidak dapat memberikan sesuatu kepada pembaca kalau dia sendiri hampa. Dengan membaca, seorang penulis mengisi dirinya. Ia tidak hanya memetik manfat yang ada dalam apa yang dibacanya. Melalui dan dengan membaca, seorang penulis menemukan ide baru. Tidak menjadi masalah, apakah ide itu mendukung atau bertentangan dengan apa yang dibacanya. Yang penting,dari membaca, seorang mendapatkan ilham.

Masih banyak manfaat dari membaca. Lewat membaca, seorang penulis mempelajari trik-trik menulis dari penulis lain. Bagaimana misalnya, Putu Wijaya untuk membuat judul untuk cerpennya (judul cerpen-cerpen Putu Wijaya biasanya Cuma satu kata). Bagaiman cara Ayu Utami mendeskripsikan (Ayu Utami dikenal paling kuat dalam mendiskripsikan). Atau seperti apa proses kreatif Dyotami Febriani membuat komik (Dyotami dikenal sangat kreatif, ia menentang arus berani melawan dominasi komik Indonesia yang dibanjiri komikus Jepang). Manusia makluk yang berkembang karena meniru.

Seorang bocah bisa mengucapkan kata “mama” dan “papa” dari meniru bunyi yang ia dengar. Karena itu, pelajaran pertama bagaimana menulis dan mengarang ialah meniru. Bukanlah ada pepatah, “tidak ada sesuatu yang baru di muka bumi ini”? Maka, meniru apa yang pernah ada sebelumnya adalah langkah yang paling mudah dalam menulis. Perlu dicamkan, bukan berarti meniru begitu saja. Tanpa diolah kembali.

Menjiplak adalah perbuatan tercela. Tak hanya itu, buntutnya bisa panjang, bisa-bisa penjiplak dituntut pidana atau pun perdata kerena menjiplak karya orang lain. Karena itu, meskipun ide awal dari pembaca, seorang penulis perlu tahu tata krama dunia penulisan. Jika tidak mengutip karya orang lain ada mekanismenya. Ada aturannya jangan sampai kutipan melebihi sekian persen dari gagasan orisinal. Jadi, kaitan membaca dan menulis sangat erat. Kepala seorang penulis ibarat yang memiliki dua saluran yang satu berfungsi untuk mengisi air, sedangkan yang yang lain untuk menyalurkannya ke luar. Keduanya harus selalu keluar-masuk dan seimbang.

Sebab jika banyak yang keluar (menulis), tanpa ada yang masuk (membaca), kendi (ember) itu menjadi kering. Kalau sudah kering apa lagi yang bisa disalurkan ke luar? Kaitan membaca dan menulis paling kongkret ialah Dari Buku ke Buku karya P. Swantoro (KPG, 2002). Dalam buku setebal 435 halaman itu, penulis mengisahkan kembali isi buku-buku kuno yang pernah dibacanya. Saya sendiri sangat menikmati buku ini, kerena mendapatkan sesuatu yang yang berharga. Apalagi, Swantoro yang mahir bahasa Belanda dan berlatar sejarah, dengan amat cerdik mengisahkan kembali buku-buku tua, sumber primer, yang pernah dibacanya. (Saya sering merasa “cemburu” dengan orang yang dapat menguasai bahasa Belanda. Mereka dapat membaca sumber primer tentang sejarah dan peradaban Nusantara, sedangkan saya merupakan sumber dari bahasa Inggris).

Dari apa yang dibacanya, Swantoro menghadirkan angle, sesuatu yang terasa baru untuk kemudian. Betapa kita merasa tertarik melihat lambang-lambang kotapraja Hindia Belanda tahun 1939-an, semacam lambang kabupaten sekarang. Betapa kita juga tertarik mengetahui apa judul buku yang mengupas tuntas PKI. Contoh lain, Indra Gunawan, yang berlatar pendidikan wartawan, menulis buku Menelusuri Buku Kehidupan. Gamblang dikatakan, buku ini lahir dari membaca. Topik yang diangkat biasa-biasa saja. Namun, disajikan secara menarik. Penulis yang juga melebarkan minat dari manajemen sampai penyebaran ini tahu betul, betapa antara bungkusan dan isi buku saling terkait.

Bahwa orang akan bosan membaca harga yang berguna kalau tidak disajikan dengan menarik. Bahwa juga orang akan meninggalkan bacaan yang hanya menghibur saja kalau ia tidak memperoleh manfaat apapun dari bacaan itu. Swantoro dan Indra Gunawan sekadar contoh penulis yang langsung memetik dari manfaat dari membaca. Dengan membaca, seorang penulis mengisi diri. Ibarat baterai atau aki, dengan membaca, otak seorang penulis dicas. Setelah penuh, baterai siap digunakan. Nasihat supaya bertekun ihwal apa pun, jika tidak ditekuni, tidak akan membuahkan hasil.

Demikian pula menulis. Tidak ada orang yang sekali terjun, langsung menjadi penulis andal. Didalam proses menjadi, seorang penulis jatuh bangun. Ada yang kuat dalam ujian, tetapi tidak sedikit yang gagal. Pada awal, banyak penulis patah arang. Tulisannya ditolak di mana-mana. Sudah susah-susah, akhirnya kerjaan sia-sia. Banyak pikiran dan waktu terkuras, tapi tak menghasilkan apa-apa. Bagaimana menghadapi kenyataan seperti itu? Nasihat empu para penulis, Mark Twain barang kali membesarkan hati. Katanya, “Write without pay until somebody offers pay!” Karena itu, menulis. Menulis, sekali lagi, menulis. Menulislah terus, tanpa bayaran, hingga suatu saat menawarkan bayaran bagi Anda karena menulis. Kata-kata Mark Twain sungguh meneguhkan.

Menulis pertama-tama adalah ekspresi dan hobi. Baru kemudian, hobi yang ditekuni mendatangkan hasil (imbalan) baik berupa gaji atau honor. Jika tidak disederhanakan kalimat di atas menjadi: latih dan pertajam terus keterampilan menulis, hingga suatu saat upaya anda mendatangkan hasil. Banyak penulis patah arang karena tidak tekun dan malas berlatih. Padahal, ada pepatah yang mengatakan “alah bisa karena biasa” (sesuatu yang pada awalnya dirasakan sulit bila sudah biasa dikerjakan akan menjadi mudah). “tajam pisau karena diasah” (orang bodoh yang menjadi pintar bila belajar keras dan tekun). Pepatah yang sungguh dalam maknanya, mengingatkan kepada kita bahwa apapun dapat dikerjakan dan pasti membuahkan hasil, asalkan ditekuni dengan sungguh-sungguh. Demikian pula halnya dengan menulis.

Menulis pertama-tama bukanlah talenta, tetapi suatu keterampilan yang harus digali dan ditingkatkan. Seorang penulis dalam proses “menjadi”, tentu mengalami banyak hambatan. Mula-mula ia merasa kosong, tidak ada bahan yang dapat dijadikan bahan tulisan. Jika hambatan pertama ini berhasil diatasi datang halangan lain:bagaimana menuangkan bahan itu ke dalam suatu tulisan?

Jika ia sudah menuangkan gagasan ke dalam tulisan, sering tulisan itu ditolak karena berbagai alasan. Jangan mengalami hambatan kedua atau ketiga, ada orang yang baru sampai pada halangan pertama saja, sudah menyerah. Ia lalu sampai pada kesimpulan, tidak mempunyai bakat menulis jika begini, orang tersebut—dalam istilah Stoltz—termasuk quitter atau orang yang mudah menyerah, tidak memiliki cukup AQ di dalam mengatasi hambatan. Padahal, semua penulis dan pengarang hebat mengalami jatuh bangun. Mereka menjadi seperti itu karena ketekunan, didasari semangat tidak mudah menyerah. Wallahu a'lam Bisshowab

Sumber: Majalah SELANGKAH 
Sebagian di edit berdasarkan komentar dan tambahan dari penulis.

Bisa diakses juga lewat online bersama Lembaga Pendidikan Papua



Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger