Dinamika Belajar Islam Ibn Taimiyyah dan Ibnu Qayyim

Jumat, 02 Desember 20160 komentar




http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2016/12/dinamika-belajar-islam-ibn-taimiyyah.html

Pengembangan studi terhadap hadits Nabi jauh lebih komplek dan berat daripada studi al-Quran. Studi atas al-Quran dapat begitu terbuka luas tanpa harus ada kekhawatiran dari pihak penaafsir akan berkurangnya otoritas al-Quran sebagai pedoman hidup di manapun dan sampai kapanpun.

Lain halnya dengan hadits, para ulama ahli hadits lebih cenderung mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reverse (segan) dalam melakukan kajian ulang dan pengembangan pemahaman atau pemikiran terhadap hadits, karena hadits adalah segala ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) atau apapun yang disandarkan kepada Nabi. Jadi ada semacam pengkultusan Nabi, karena itulah sikap ketidak kritisan ulama kepada hadits bisa jadi bukan karena sisi ilmiah, namum karena sosok Nabi sebagai pemimpin agama, sebagai utusan Tuhan yang memiliki sifat ma'shum, maka pengkultusan ini tidak terlekkan dan ini adalah bagian dari kondisi psikologis belaka, bukan pada sisi ilmiahnya.

Di lain pihak, dinamika masyarakat dewasa ini begitu cepat menghendaki adanya pengkajian ulang terhadap hadits. Pada abad ke-7 H, sebuah gerakan dimulai dari Damaskus. Melihat Islam telah bercampur dengan kesyirikan, perbuatan bidah dan tercampur aduk dengan praktek keagamaan lain, Ibn Taimiyyah bersama muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengobarkan semangat tajdid, proyek purifikasi Islam yang bertolak dari kembali kepada al-Quran dan hadits. Seiring dengan berjalannya waktu, gerakan ini makin meluas dan mendapatkan tempatnya di kalangan muslimin.

Gerakan salafi, atau sebuah gerakan pemurnian Islam dengan kembali ke al-Quran dan hadits menyebar, membuka kembali pintu ijtihad yang sudah tertutup dan menolak taqlid adalah slogan-slogan yang selalu diteriakkan kaum salafi. Seorang Ibn Taimiyyah saja jika tidak didukung dengan semangat para muridnya menyebarkan ajaran Ibn Taimiyyah, tentu tidak akan meluas seperti dewasa ini. Sikap fanatis Ibnul Qayyim terhadap gurunya tentu sebuah mata rantai sanad gerakan salafi modern, walaupun tidak semuanya dapat digeneralisir seperti ini.

Ibnul Qayyim hidup pada zaman yang carut-marut secara politik, keamanan, ekonomi, dan juga keagamaan. Pasukan Tartar menyerang Islam tidak hanya di pusat pemerintahan di Baghdad, namun meluas hingga ke Damaskus. Yang terjadi adalah ketidakstabilan, di mana penjajah selalu menginjak-injak kaum muslimin, di mana keamanan dan keselamatan tiap orang tidak bisa terjamin, maka usaha yang dilakukan adalah berjihad secara fisik, dan berijtihad dengan segala upaya melepaskan kekangan dari pasukan penjajah.

Di lain pihak, keadaan keagamaan telah lepas dari rel yang murni, telah bercampur dengan pelbagai macam unsur non-Islami. Bagi Ibnu Qayyim –yang meneruskan paham Ibn Taimiyyah dalam hal ini- Islam harus dikembalikan menuju Islam yang murni, tidak tercampur oleh bid'ah, filsafat, khurofat kaum sufi, hingga percampuran dari luar Islam seperti peribadatan yang mirip dengan agama Hindu dan logika Yunani.

Dari ruang lingkup zaman dan komunitasnya, maka semangat kembali pada al-Quran dan Hadits yang didengungkan Ibn Taimiyyah diterima Ibnul Qayyim. Pemahaman keagamaan model ini merupakan gambaran dari perlawanan seorang Ibnul Qayyim terhadap hegemoni –kekuasaan, pemahaman agama, politik- yang sukar dirubah. Walaupun bermadzhab Hambali, namun tidak sedikit pandangan fikih beliau tidak sama dengan hasil ijtihad Ahmad bin Hambal. Tidak mengherankan memang, karena Ibnul Qayyim adalah seorang ulama ensiklopedis yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu. Diketahui beliau adalah ulama ahli tafsir, hadits, fikih, bahasa, sejarah, ilmu kalam dan filsafat. Sesuai dengan semangat tajdid, beliau lebih memilih berijtihad sendiri dengan ilmu yang beliau miliki jika ada ketidakcocokan dalam masalah agama, dan sangat menolak taklid.

Di antara dakwahnya yang paling menonjol adalah dakwah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah terjadi. Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Quran, al-Hadits, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).





Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger