Mengenal Matematika Marxisme

Selasa, 18 Oktober 20160 komentar



http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2016/10/mengenal-matematika-marxisme.html

TAK BANYAK orang yang tahu bahwa Marx meninggalkan manuskrip seribu lembar tentang matematika. Manuskrip itu ia tuliskan selama waktu senggang pada tahun 1881. Isinya adalah pemaparan tentang kalkulus diferensial. Proyek penulisan itu tak hanya memiliki nilai rekreasional bagi Marx, tetapi juga ditujukan untuk menguasai salah satu sarana kunci dalamprogram kritik ekonomi-politik yang tengah ia jalankan. Paul Lafargue melaporkan bagaimana Marx percaya bahwa ‘sebuah ilmu tak akan sungguh-sungguh berkembang sebelum ilmu tersebut belajar menggunakan matematika.’

Kita tak akan mendiskusikan isi manuskrip itu di sini, sebab apa yang termuat di sana hanyalah catatan-catatan belajar yang dibuat Marx. (Engels agak berlebihan ketika ia menyatakan di upacara penguburan Marx bahwa Si Moor ‘mencapai temuan baru di berbagai bidang yang dipelajarinya, termasuk matematika.’ Marx mungkin seorang polymath, tetapi sepertinya tidak dalam hal matematika.) Apa yang akan kita persoalkan adalah status ontologis matematika itu sendiri, melihat betapa sentralnya matematika dalam perumusan ilmu-ilmu secara umum seperti diakui Marx sendiri (bahkan dalam revolusi sosialis, setidaknya menurut para aktivis Revolusi Kebudayaan).

Matematika sering dianggap sebagai ‘bahasa ilmu-ilmu.’ Fisika, sebagai ilmu fondasional dalam ilmu-ilmu alam, dituliskan melalui bahasa matematika. Galileo sendiri mengatakan bahwa Kitab Alam tertulis dalam bahasa matematika. Sebagai padanannya dalam ilmu-ilmu sosial, ekonomi pun diuraikan dalam rumus-rumus matematika. Karena peran sentralnya dalam ilmu-ilmu inilah, matematika kemudian dianggap sebagai paradigma objektivitas. W.V. Quine dan Hilary Putnam pernah mengatakan bahwa karena matematika tak dapat dikesampingkan dalam ilmu-ilmu yang nyatanya telah menghasilkan prediksi yang memuaskan atas fenomena empirik, maka tentunya entitas-entitas yang dinyatakan dalam matematika ada. Tesis ini, kemudian dikenal sebagai indispensability of mathematics, bertolak dari fakta kesuksesan ilmu-ilmu yang menggunakan matematika untuk lantas menyimpulkan keberadaan independen entitas-entitas matematika. Argumen tersebut merupakan salah satu landasan realisme matematis.

Apa artinya jika entitas-entitas matematika bersifat independen? Tentu artinya bahwa kebenaran proposisi matematis seperti 5 + 7 = 12 tidak tergantung pada manusia. Dan kebenaran proposisi tersebut dijamin oleh asumsi bahwa 5, 7 dan 12—atau bilangan secara umum—tetap ada kendati tak ada seorang pun yang memikirkannya. Dengan kata lain, 5 + 7 = 12 tetap benar pada masa kini maupun masa sebelum makhluk hidup muncul di muka bumi. Inilah yang secara intuitif diterima oleh para matematikawan sebagai asumsi kerjanya. Tentu pandangan ini tidak universal di kalangan para filsuf matematika yang biasanya memang lebih sibuk membahas asumsi-asumsi matematika ketimbang matematikawannya sendiri.

Kaum nominalis (seperti Jody Azzouni) memandang bahwa proposisi-proposisi matematis dapat benar tanpa mengandaikan keberadaan entitas matematika secara independen. Proposisi matematis hanyalah instrumen dalam memahami realitas spasio-temporal; bilangan hanyalah nama-nama yang kita terakan pada semesta fisik. Salah satu posisi yang lebih radikal dalam kubu ini adalah fiksionalisme. Posisi ini menyatakan bahwa karena entitas-entitas matematika tidak ada, maka sebagian besar proposisi matematis keliru. 

Satu-satunya jenis proposisi yang dapat benar dalam matematika, menurut posisi ini, adalah proposisi negatif, misalnya ‘tidak ada bilangan prima terbesar.’ Proposisi itu juga benar dalam matematika standar, tetapi dalam fiksionalisme proposisi itu benar untuk alasan yang berbeda, yakni karena tidak ada bilangan sama sekali maka dengan sendirinya tidak ada bilangan prima terbesar (Colyvan 2011: 65-66). Di kalangan matematikawan sendiri, posisi nominalis dan fiksionalis ini tak banyak diterima. Ada ungkapan bahwa apabila seorang matematikawan berposisi nominalis, pasti ia hanya seperti itu pada akhir pekan saja, sementara pada hari-hari kerja ia niscaya seorang realis. Lagipula matematikawan berbeda dengan novelis.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger