Ibu, Aku ingin seperti Salman Al-farisi

Kamis, 27 Oktober 20160 komentar





http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2016/10/ibu-aku-ingin-seperti-salman-al-farisi.html

Suatu ketika Rasulullah Muhammad saw ditanya oleh salah seorang sahabatnya, “Ya, Rasulallah… adakah orang yang paling disayangi oleh Allah SWT selain Engkau?” Nabi Menjawab, “Ada, yaitu Salman al-Farisi.” Lalu sahabat bertanya kembali, “Kenapa, ya, Rasulallah dia begitu disayang Allah?”

Kemudian Nabi pun bercerita bahwa Salman al-Farisi adalah orang yang berasal dari keluarga miskin, sementara ibunya sangat ingin naik haji, tetapi untuk berjalanpun dia tidak bisa. Demikian juga uang untuk pergi ke Tanah Suci tidak punya. Salman al-Farisi begitu bingung menghadapi kondisi itu. Namun akhirnya, Salman memutuskan untuk mengantar ibunya naik haji dengan cara menggendong ibunya dari suatu tempat yang begitu jauh dari Mekkah. Diperlukan waktu berhari-hari untuk melaksanakan perjalanan itu sehingga tanpa terasa punggung Salman al-Farisi sampai terkelupas kulitnya.”

Begini kisahnya:

Suatu hari ada seorang anak shaleh yang menggendong ibunya yang tercinta. Dikisahkan ibunya sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk berjalan sendiri, saat perjalanan dari kota Madinah menuju kota Mekkah dalam rangka melaksanakan ibadah Haji.

Bisa dibayangkan panasnya terik matahari ketika siang dan dinginnya malam hari serta beratnya gendongan yang ada di pundaknya bukan?
Betapa berbaktinya anak ini kepada ibunya. Dia ingin membahagiakan ibunya yang sedang sakit dengan mengantarkannya menuju rumah Tuhan bahkan dengan menggendongnya. Betapa besar pengorbanan dan usahanya.

Ketika akhirnya sampai di kota Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji mereka bertemu dengan Rasulullah. Bahagia sekali sang anak beserta ibunya ini ketika mereka bertemu dengan Utusan Tuhan yang sangat mereka cintai dan mereka rindukan.

Saat itu, terjadilah percakapan yang kurang lebih seperti ini:
Sang anak bertanya kepada Rasul, “Ya Rasul, apakah saya sudah berbakti kepada orangtua saya? Saya menggendong ibu saya di pundak saya berjalan dari Madinah sampai Kota Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.”

Seketika itu pula Rasul menangis. Diiringi tangisnya, kemudian Rasul menjawab, “Wahai Saudaraku, engkau sungguh anak yang luar biasa, engkau benar-benar anak shaleh, tapi maaf, (sambil tetap menangis) apapun yang kamu lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orangtuamu, apapun usaha kerasmu untuk menyenangkan orangtuamu, tidak akan pernah bisa membalas jasa mereka yang telah membesarkanmu.”

Mendengar apa yang disampaikan Rasulullah, alih-alih kecewa, Salman pun bahkan lebih bersemangat lagi untuk meningkatkan bakti dan pelayanan terbaiknya kepada sang Ibu.

Begitulah Salman memberikan teladan kepada kita, bagaimana seharusnya bakti anak kepada Ibundanya.
                                                                      ***

Selain itu, ada juga kisah luar biasa tentang Salman al-Farisi, ketika dirinya hendak menikah.

Tersebutlah seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita shalihah yang selama ini telah menarik perhatiannya. Tapi bagaimanapun, di sisi lain dalam pandangan Salman, Madinah bukanlah tempat dia tumbuh dewasa. Ia berpikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi urusan pelik bagi seorang pendatang seperti dirinya. Maka, disampaikanlah gejolak hatinya itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, yakni Abu Darda’.

“Subhanallah, walhamdulillah..” betapa senang hati Abu Darda’ mendengar pengakuan dan itikad baik Salman. Persiapan pun dilakukan. Setelah persiapan rampung, beriringanlah kedua sahabat itu menuju rumah wanita shalihah yang dimaksud.

“Saya Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam. Ia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Salman memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya,” tutur Abu Darda’ kepada orangtua si gadis.

Mendengar penjelasan Abu Darda’, Ayah wanita shalihah itu pun menjawab, “Adalah kehormatan bagi kami menerima Anda, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan suatu penghargaan bagi kami  bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya kami serahkan kepada puteri kami.”

Mendengar jawaban itu, Abu Darda’ dan Salman terpaksa menunggu dengan perasaan berdebar-debar. Hingga sang Ibu wanita shalihah yang kemudian muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.

“Maafkan kami atas keterusterangan ini. Dengan mengharap Ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Keterusterangan yang di luar prediksi. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Ironis sekaligus indah. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk ketika cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran.

Tampaknya, Salman memang belum punya hak apapun atas wanita shalihah yang dicintainya.

Tapi, apa yang kemudian dikatakan Salman?
“Allahu Akbar! Jika demikian, biarlah kuikhlaskan semua mahar yang kupersiapkan ini untuk saudaraku Abu Darda’, dan aku siap untuk menjadi saksi atas pernikahan kalian.”

Subhanallah, betapa indahnya kebesaran hati Salman al-Farisi yang tak sedikitpun merasa telah direndahkan sebagai sahabat yang kedudukannya mulia di mata Nabi.  Dia begitu paham betapapun besarnya cinta kepada seorang wanita,  tidaklah serta-merta memberinya hak untuk memiliki wanita itu.

Bagi Salman, sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tetaplah cinta tidak menghalalkan hubungan dua insan.

Salman pun sangat paham akan arti persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Salman. Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat yang dikaruniakan Allah atas saudaranya.

Hal ini sebagaimana Sabda Nabi, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” [HR Bukhari]

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah bakti Salman kepada Ibundanya dan mampu meneladani bagaimana watak mulia dan ketulusannya dalam bersahabat dengan seseorang yang telah dipersaudarakan oleh Rasul kepadanya. Betapa teguhnya dia memelihara tali persaudaraan yang diamanahkan Rasul untuknya, meski harus mengorbankan perasaan dan kepentingan pribadinya sendiri. Itulah wujud penghormatan Salman kepada Nabi, sosok mulia yang teramat sangat dicintainya melebihi cinta kepada dirinya sendiri.
 wallahualambisshowab.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger