Belajar Cinta dari Ali bin Abi Thalib

Jumat, 28 Oktober 20160 komentar



http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2016/10/belajar-cinta-dari-ali-bin-abi-thalib.html


Kisah ini adalah penggalan kata dari kisah karya Salim A. Fillah dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang. Buku ini banyak menceritakan kisah dan satu di antaranya mengenai keberanian cinta Ali bin Abi Thalib dalam memperjuangkan cintanya terhadap Fatimah, putri Rasulullah saw.. Banyak hikmah yang bisa kita dapatkan dari kisah islami tersebut. Kita dapat belajar cinta dari kisah Ali bin Abi Thalib ini.

Dalam kisah berikut diceritakan bahwa ada suatu rahasia dalam hati Ali bin Abi Thalib yang sangat ia jaga. Ia tutup rapat-rapat rahasia tersebut dan tak menceritakannya kepada siapa pun, yakni rasa kagumnya pada Fatimah, putri Rasulullah. Ali mengenal Fatimah sejak lama sebab mereka berdua adalah teman karib dari kecil. Namun, antara keduanya saling menjaga diri. Kita dapat belajar cinta dari kisah islami Ali bin Abi Thalib ini.

Bagi Ali, Fatimah adalah sosok wanita yang mengagumkan. Fatimah tak hanya memiliki paras yang cantik, tetapi juga memiliki akhlak yang baik. Kesalehan dan rasa bakti yang tinggi kepada Rasulullah dari diri Fatimah benar-benar mampu memesona Ali. Suatu ketika, Rasulullah menghampiri Fatimah dengan luka yang memercik darah dan kepala yang dilumuri isi perut unta. Fatimah geram, ia bersihkan luka-luka itu dengan hati yang teriris. Setelah ia mengetahui bahwa itu adalah perbuatan kaum Quraisy, ia tak lantas takut, tetapi dengan berani ia pergi menuju Kabah dan menghardik para kaum Quraisy. Ini adalah bentuk keberanian yang ada dalam diri Fatimah yang membuat Ali bin Abi Thalib kagum.

Berkaitan dengan cinta, dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib sendiri pun tidak mengetahui dengan pasti perasaan seperti itu bisa disebut sebagai cinta atau tidak. Sampai suatu ketika, ia mendengar kabar yang membuatnya terkejut tentang Fatimah yang akan dilamar oleh Abu Bakar Ash Shiddiq.


Ali merasa bahwa ia sedang diri. Ali berpikir bahwa ia tak dapat dibandingkan dengan Abu Bakar. Abu Bakar ialah lelaki yang iman dan akhlaknya tak dapat diragukan. Lelaki yang rela membela Islam dengan harta dan jiwanya. Abu Bakar menjadi teman Nabi dalam perjalanan hijrah, sementara Ali hanya bertugas untuk menggantikan beliau menanti maut di ranjangnya. Dalam dakwah, banyak tokoh bangsawan dan saudagar Mekah yang masuk Islam karena ikhtiar Abu Bakar. Dari segi finansial, banyak budak muslim yang telah dibebaskan dan para fakir yang telah dibela oleh Abu Bakar. Namun, Ali? Dari banyak sisi, Abu Bakar dapat melakukan hal-hal yang belum bisa ‘Ali lakukan. Dengan demikian, insya Allah akan lebih bisa membahagiakan Fatimah, pikirnya.

Menurut pemikiran Ali, ia hanyalah pemuda miskin dari keluarga miskin yang tak dapat disejajarkan dengan Abu Bakar. “Inilah persaudaraan dan cinta. Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku dan aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku,” gumam Ali dalam hati.

Semangat Ali

Setelah beberapa waktu berlalu, Ali mendengar kabar yang membuat hatinya bahagia. Tunas-tunas harapan di hatinya yang sempat layu setelah mendengar kabar itu kini dapat tumbuh kembali. Kabar bahwa ternyata Rasulullah menolak lamaran Abu Bakar. Lalu, apa yang Ali lakukan? Ali terus menjaga semangatnya dalam mempersiapkan dan memantaskan diri agar bisa melamar Fatimah kelak. Tentu saja, lagi-lagi kita dapat belajar cinta dari kisah islami Ali bin Abi Thalib yang satu ini. Berjuang memperbaiki diri adalah salah satu cara yang tepat dalam pemantasan diri.
Selanjutnya, apa yang terjadi? Lagi-lagi kesungguhan Ali diuji. Setelah Abu Bakar, datang lagi seorang laki-laki yang melamar Fatimah. Lelaki yang memiliki perangai yang gagah dan perkasa. Lelaki yang setelah keislamannya berhasil membuat kaum muslimin berani mengangkat muka mereka dengan tegak dan lelaki yang membuat para setan berlari karena takut akan dirinya. Ia adalah Umar bin Khattab, salah satu orang terdekat Nabi.

Mengetahui hal ini, lagi-lagi Ali merasa bahwa dirinya tak sepadan dan tak dapat disejajarkan dengannya. Umar bin Khattab adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Nabi. Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi mengatakan, “Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar. Aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar. Aku masuk bersama Abu Bakr dan Umar ….” Ini membuktikan betapa tinggi kedudukannya di sisi Nabi, di sisi ayah Fatimah.

Ketika berhijrah, Umar berjalan mendampingi Nabi, kemudian Ia tawaf tujuh kali dan naik ke atas Kabah. “Wahai, Quraisy! Hari ini putera Al Khattab akan berhijrah. Barang siapa yang ingin istrinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang Umar di balik bukit ini!” kata Umar. Berbeda dengan Umar, Ali hanya menyusul sang Nabi dengan sembunyi agar selamat dari kejaran musuh. Sangat berbeda. Ali tersadar jika melihat dari segala sisi, ia pemuda yang belum siap menikah, terlebih menikahi Fatimah. Menurutnya, Umar jauh lebih layak dan Ali ridha.

Namun, kemudian terdengar kabar bahwa lamaran Umar pun ditolak. Mendengar kabar itu, Ali hanya bisa merenung. Menantu seperti apakah yang sebenarnya diinginkan oleh Rasulullah. Apakah seperti dua menantu yang telah dimiliki Rasulullah? Utsman yang memiliki banyak harta atau Abul ’Ash ibn Rabi’kah saudagar Quraisy? Kriteria menantu yang membuat Ali semakin kehilangan kepercayaan dirinya.

“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi ….” pertanyaan dari teman ansar menyadarkan Ali dari lamunan.
“Aku? Aku hanyalah pemuda yang miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” tanya Ali tak yakin.
“Tenang saja. Kami di belakangmu! Semoga Allah menolongmu!” jawab teman-teman ansar.

Setelah iu, Ali berpikir, “Aku akan diam saja, sementara kesempatan sudah di depan mata atau meminta Fatimah untuk menantikanku di batas waktu dan menunguku hingga sekitar dua atau tiga tahun sampai aku siap?”
“Ah, itu kekanak-kanakan dan memalukan,” pikirnya. Tak lama, Ali pun memberanikan dirinya untuk menghadap sang Nabi. Ia menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah, walaupun ia sadar diri bahwa secara finansial tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Ia hanya memiliki satu set baju besi dan persediaan tepung kasar untuk makannya.
Ahlan wa sahlan! Engkau pemuda sejati wahai, Ali!” Rasulullah berkata dengan senyuman di wajahnya.

Ali ialah Pemuda yang siap bertanggung jawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul risiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Dengan jawaban itu, Ali merasa bingung. Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat sebuah penerimaan atau penolakan. Pikirnya, mungkin Nabi bingung untuk memberikan jawaban. Jika itu sebuah penolakan, ia siap karena itu sudah menjadi risikonya.

“Bagaimana jawaban Nabi, Kawan? Bagaimana lamaranmu?” tanya kawan Ali.
“Entahlah. Menurut kalian apakah ‘ahlan wa sahlan‘ berarti sebuah jawaban?” tanya Ali dengan wajah bingung.
”Satu kata saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Kau mendapatkan ahlan wa sahlan, Kawan! Dua-duanya berarti ya!” jawab kawan-kawan Ali.
Ali pun akhirnya menikahi Fatimah dengan menggadaikan baju besinya.

Ternyata, dalam kisah ini diceritakan tentang hal yang dilakukan oleh putri sang Nabi saat ia menjaga dirinya. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fatimah berkata kepada, “Ali, maafkan aku karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda.”
Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu, mengapa engkau mau menikah denganku? Lalu, siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum, Fatimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.”

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger