Literasi bukan Sekedar Teori

Minggu, 03 Maret 20190 komentar

Oleh: Misbahuddin

Pada bulan September tahun 2017 lalu, Pemerintah di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan ebook berbentuk pdf yang disebarkan dari media sosial tentang berbagai macam literasi. Diantaranya literasi baca tulis, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi numerasi dan yang terkahir literasi budaya dan kewargaan.

Sebagaimana yang disampaikan bapak Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam sambutan pengantarnya bahwa "pintu masuk untuk mengembangkan budaya literasi bangsa adalah melalui penyediaan bahan bacaan dan peningkatan minat baca anak". Sudah menjadi keharusan sekolah untuk memfasilitasi segala kebutuhan keilmuan yang berkaitan dengan pengembangan pengetahun siswa dan guru. Dalam hal ini penunjang utamanya koleksi berbagai buku.

Jangan berharap minat baca tulis akan tumbuh dan berkembang jika hanya berhenti pada teori. Walaupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menggiatkan Gerakan Literasi Menulis (GLN) sebagai bentuk implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tapi tidak menyediakan fasilitas buku yang memadai, maka tentu minat baca tulis itu tidak akan tumbuh.

Fasilitas tidak hanya berbicara tentang sarana yang tampak pada mata, seperti buku dan yang lainnya. Melainkan fasilitas untuk membangun semangat. Mulai dari pembinaan pada guru-guru yang rata-rata mereka semua berhenti pada karya skripsi atau tesis yang mereka miliki. Setelah itu mereka lebih banyak disibukkan dengan tuntutan profesinya.

Melakukan pembinaan tidak selalu bergantung pada fasilitas pemerintah. Bisa dengan membangun komunitas, kelompok kecil, atau memanfaatkan peserta didik sebagai bentuk kelompok yang bisa diajak semangat. Maka dengan sendirinya sekolah akan menjadi icon munculnya gerakan literasi.

Berbicara tentang literasi bukan hanya tentang sekedar bisa baca-tulis saja. Jika hanya tentang sekedar bisa membaca dan menulis ala kadarnya, siswa RA atau TK banyak yang sudah mampu. Literasi lebih dari sekedar berhenti pada tahap bisa membaca dan menulis, melainkan apa yang ia baca mampu untuk menggiatkan semangat membaca lagi. Dan apa yang ia tulis mampu untuk membuat karya tulis.

Untuk membiasakan membaca sama mudahnya dengan membiasakan menulis. Karena modal untuk keduanya kita  sudah memiliki semua. Sehingga literasi pun berkembang bukan sekedar baca tulis, melainkan bisa dengan keterbukaan wawasan. Dengan terbukanya wawasan yang kita miliki, tentunya kita akan dapat mengembangkan apa yang kita ketahui baik dari hasil membaca melalui teks ataupun melalui nalar fikir dengan cara menulis.

Maka solusi agar diri kita ini mampu membuat karya tulis? Tidak ada cara lain selain "cobalah menulis". Orang yang mampu menulis, tidak harus menunggu kita lulus sekolah, perguruan tinggi ataupun lembaga formal lainnya. Tapi orang yang terus mencoba menulis, menulis lagi dan akhirnya ia dapat mengoleksi tulisannya. Dan tulislah apa yang kita sukai. Jenis tulisan apapun.

Untuk bisa menulis dan berkarya tulis tidak ada konsepnya harus membaca tulisan dulu. Karena banyak ditemui penulis yang hanya membaca pengalaman, aktifitas, dan kebiasaan hingga akhirnya ia mampu membuat sebuah tulisan. Marilah kita mulai menulis dari sekarang.

Tidak harus seperti yang disampaikan Dr. Najmah dengan teori Literasi Holitiknya yang harus melewati lima tahap yakni membaca, memahami, melakukan, menulis dan mengomunikasikan. Karena tahapan ini bisa jadi berbalik tahapnya bahkan tidak terurut.

*Ditulis pada saat Seminar Sehari, Gerakan Literasi Holistik oleh Dr. Najmah, M.Pd

Denpasar, 27 Oktober 2018

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger