Kita Suka “Menyamaratakan”

Kamis, 19 Januari 20170 komentar



http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2017/01/kita-suka-menyamaratakan.html

Penulis menyebut dalam judul ini dengan kata "kita".  Mungkin pembaca berkata, kita...??? loe aja kali, gue nggk. Saya sangat tidak berat hati, namun jika kita sama-sama menyadari maka saya sangat terbuka hati untuk diskusi.

Dengan sebuah alasan agar kita bersama-sama mampu mengintrospeksi diri, walaupun tujuan utama dari tulisan ini adalah perbaikan diri saya pribadi. Siapa tahu pembaca juga menyadari akan hal ini, sehingga tulisan ini menjadi manfaat untuk banyak orang. 

Lagi-lagi penulis mengingatkan kembali, bahwa pembaca sangat boleh tidak setuju dengan tulisan ini karena itu adalah fitrah. Namun juga sangat terbuka lebar untuk kita berdsikusi lewat tulis-menulis, dengan saling memberikan sumbangsih ide dan pemikiran atau berbagi pengalaman. Hal ini untuk menunjang keterbukaan wawasan keilmuan kita.

Kita selalu punya banyak waktu, kita selalu punya banyak tempat, dan kita selalu berpindah dan berubah. Seiring proses perubahan itu, tentu kita tahu tidak semuanya berada pada koridor yang benar, pastilah kita mendapat nilai salah. Entah salah berinteraksi, salah berkata, salah bertingkah. Namun sedetik kesalahan terkadang mencoreng nama baik dalam satu menit. Begitupun mencoreng kesalahan satu menit akan mencoreng kebaikan satu jam. Dan begitupun seterusnya.

 “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Benarkah? Karena satu kesalahan, lalu semua hal baik juga ikut rusak? Karena kesalahan satu orang, lalu seluruh kelompoknya juga ikut bersalah?

Inilah salah satu pertanyaan terpenting yang perlu kita ajukan sekarang ini. Banyak orang hidup dengan prasangka. Pikirannya melihat sesuatu, lalu menyamaratakan kesalahan itu ke konteks yang lebih luas. Misalnya, ada satu orang Ambon yang menjadi preman. Lalu, kita dengan gampangnya menarik kesimpulan, “semua orang Ambon itu preman”. Dalam konteks yang lain misalkan, ada satu atau dua orang Madura yang melakukan marah, maka seakan semua orang madura pemarah.

Kesalahan satu orang lalu dianggap sebagai kesalahan kelompok. Ada orang asing berbuat kriminal, maka semua orang asing lalu dicurigai sebagai kriminal. Inilah yang sekarang ini berkembang di Jerman, mungkin juga bisa ditemui di Indonesia, dan di berbagai tempat lainnya. Saya menyebut gejala ini sebagai pola pikir “menyamaratakan”.

Kecenderungan ini lalu juga meluas. Kesalahan kelompok dianggap sebagai kesalahan ras. Kesalahan ras lalu dianggap sebagai kesalahan seluruh peradaban. Dunia lalu terpecah di antara berbagai kelompok yang saling membenci satu sama lain.

Prasangka

Pola pikir menyamaratakan adalah ibu kandung dari prasangka. Prasangka adalah pandangan kita akan sesuatu, sebelum sesuatu itu terjadi. Ia tidak nyata. Ia hanya khayalan di kepala kita yang berpijak pada ketakutan dan kesalahpahaman.

Prasangka lalu melahirkan diskriminasi. Kita menilai orang berdasarkan warna kulit, ras, suku atau agamanya. Kita bersikap keras dan tidak adil kepada seseorang, karena ia memiliki latar belakang yang tidak sama dengan kita. Dengan cara berpikir ini, kita bisa menjadi pelaku pembunuhan massal.

Dunia sekarang ini hidup dalam bayang-bayang diskriminasi dan rasisme. Orang dipisahkan oleh tembok warna kulit dan agama. Berita-berita di media dipelintir, guna memanaskan keadaan. Banyak keluarga harus menderita, karena mengalami ketidakadilan di berbagai segi kehidupannya.

Keadaan ini bagaikan bom waktu. Konflik besar antar kelompok menanti di depan mata. Ketegangan politis dan militer membawa penderitaan bagi banyak orang yang tak bersalah. Keadaan ini diperparah oleh rusaknya alam, akibat dari kerakusan dan kebodohan manusia.

Pembunuhan massal etnis Yahudi tak jauh dari ingatan kita. Orang-orang Yahudi ditangkap dan dibunuh, tanpa alasan yang jelas. Di Indonesia, jutaan anggota PKI dan organisasi-organisasinya ditangkap, ditahan dan dibunuh demi kekuasaan belaka. Pola pikir menyamaratakan ada di balik semua peristiwa mengerikan ini.

Akar

Memang, sulit bagi kita untuk tidak menyamaratakan, ketika kita secara langsung menjadi korban dari suatu bentuk kejahatan. Kita mengalami trauma dan sakit hati, akibat penghinaan dan ketidakadilan yang secara langsung kita alami. Berpijak pada kekalutan batin semacam itu, kita lalu menyamaratakan. Selama konflik dan trauma tidak mengalami rekonsiliasi, selama itu pula pola pikir menyamaratakan akan berkembang, dan mendorong berbagai bentuk diskriminasi.

Misalnya, kita diancam oleh preman yang berasal dari Medan. Maka sulit bagi kita untuk menolak logika berpikir, bahwa “semua orang Batak adalah preman”. Ada semacam ketakutan yang menutupi pikiran kita di dalam peristiwa ini. Akibatnya, kita tidak lagi mampu berpikir jernih, dan kemudian menyamaratakan.

Ini juga seringkali terkait dengan harga diri kita sebagai manusia. Korban penghinaan terluka harga dirinya. Kemarahan dan kebencian menutupi matanya, sehingga ia berpikir dengan menyamaratakan, dan mendorong terjadinya diskriminasi serta konflik. Hal yang sama terjadi dengan harga diri kelompok, sehingga konflik perorangan berubah menjadi konflik antar kelompok.

Pola pikir “menyamaratakan” ini juga diakibatkan oleh hubungan sebab akibat semu di dalam kepala. Kita membuat hubungan tanpa dasar antara dua peristiwa. Kita melihat sebab dari suatu akibat (penderitaan kita), walaupun sesungguhnya tidak ada hubungan langsung. Analisis kita dikotori oleh rasa takut, trauma dan kebencian.

Keadaan ini juga disebut sebagai ketidakberpikiran. Kita mengira ketakutan kita sebagai kebenaran. Kita mengira pikiran kita sebagai kebenaran. Pikiran yang diyakini sebagai kebenaran justru melahirkan ketidakberpikiran.

Pada saat yang sama, keadaan ini juga bisa disebut tindak berpikir yang berlebihan. Para master Zen di dalam filsafat Timur berulang kali menegaskan, pikiran adalah sumber dari segala penderitaan. Pikiran dan analisis memisahkan manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan alam. Keadaan ini berpotensi besar untuk mendorong konflik.

Pola pikir menyamaratakan bisa dilampaui, jika orang menyadari pikirannya sendiri. Ia lalu bisa mengambil jarak dari prasangka yang bercokol di kepalanya. Ketakutannya tetap ada, tetapi tidak mempengaruhinya. Setelah prasangka dan ketakutan lenyap, orang lalu masuk ke dalam kejernihan.

Orang juga tak perlu takut dan marah, jika ia mengalami diskriminasi, akibat penyamarataan. Para pelaku diskriminasi adalah orang-orang yang takut dan menderita. Justru, mereka harus dibantu dengan berbagai cara yang mungkin. Kekuatan terbesar manusia adalah kelembutannya di dalam menghadapi segala sesuatu. wallahu a'lam bisshowab

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger