Dosen Baru Sang Inspirator Tulis Menulis

Selasa, 31 Januari 20170 komentar





 Sumber foto : Facebook dari Akhmad Mu

Berbicara tentang dosen tentu akan mempunyai ragam pendapat dari kalangan mahasiswa. Bagi penulis sendiri seorang dosen harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang lebih dari pada seorang mahasiswa. Seorang dosen tentu harus mempunyai keahlian di bidang yang ia ajarkan ke mahasiswanya. Jika ada dosen yang tidak seperti yang penulis gambarkan itu, saya kira banyak kampus harus dipertanyakan dalam merekrut dosen.

Dalam tulisan ini ada sedikit cerita yang penulis bagikan kepada pembaca bahwa ada salah satu dosen di kelas saya yang mengampu mata kuliah Bimbingan Konseling di semester VI ini. Beliau bernama Ahmad Mukhlis seorang dosen yang peduli untuk memberikan ruang berfikir, berkreasi, dan berfantasi kepada mahasiswa untuk menulis. 

Baginya menulis merupakan senjata manusia untuk menyalurkan dan mewariskan ilmu. Sehingga beliau mengajar dan mendidik mahasiswa untuk berlatih dan membiasakan menulis. Salah satu metode yang ia suguhkan ke mahasiswa dengan memberi tugas mingguan untuk menulis artikel mengenai pembelajaran yang sudah diajarkan sebelumnya.

Beliau termasuk satu dari sekian banyak dosen yang pernah saya jumpai untuk memberikan ruang belajar menulis. Walaupun memang esensi dari mata kuliah ini tidak menjurus dalam hal tulis menulis. Kebetulan di semester ini ada mata kuliah Pendidikan Jurnalistik yang bisa jadi hanya menjadi mata kuliah bagaikan angin lewat dari kuping kanan ke kuping kiri tanpa adanya pembiasaan seperti ini.

Membiasakan menulis tentu harus ada dorongan internal dari setiap individu. Kalaupun ada dosen yang dengan susah payah mengarahan mahasiswanya untuk menulis, tentu hal itu akan jadi beban belaka yang menyiksa dan dengan hasil yang sia-sia. Karena bagi saya kemampuan menulis juga bagian dari kecerdasan manusia yang tidak semua orang mampu melakukannya. Ketika seseorang mampu mengolah pengalamannya melalui pikiran kemudian tertuang dalam bentuk tulisan, itu artinya ia telah memanfaatkan kemampuan intellegensinya.

Bagi sebagian orang yang sudah terbiasa menulis menganggap bahwa membuat tulisan itu mudah, bahkan lebih mudah dari berbicara. Tentu yang membuat dirinya berkata "mudah" karena bisa dengan keterbiasaannya. Maka apapun itu akan berlaku "bisa karena biasa". Jadi jika kita punya keinginan untuk bisa menulis entah itu essay, opini, artikel dan lain sebagainya maka kita membiasakannya terlebih dahulu. Tanpa peduli tulisan itu akan dinilai jelek, tidak berbobot, ataupun tidak berkualitas.

Dalam sepintas rasa minder dengan tulisan yang sudah kita rangkai pasti tidak dapat dipungkiri lagi. Namun jika memang kita khawatir akan banyak cemoohan ataupun ejekan dari pembaca seminimal mungkin kita merasa puas dengan tulisan yang sudah kita rangkai sendiri. Karena hal itu yang menjadi modal awal untuk mulai menyukai dunia tulis menulis. Lalu kemudian bisa dicoba untuk suruh baca ke teman dekat, atau sahabat yang sudah sehidup semati bersama. Mungkin langkah-langkah ini sedikit membantu memanfaatkan tulisan sebagai media dakwah penyampaian ilmu. menulislah untuk kita sendiri terlebih dahulu.

Meminjam istilah Ust Mukhlis "menulis itu bukan urusan kualitas" tapi menulis lebih kepada tersampainya ide atau gagasan kepada pembaca. Pembaca pertama tentu adalah penulis. Maka ketika penulis sendiri sudah bisa memahami tulisannya, hal itu pertanda bahwa gagasan dan idenya sudah termaktub dalam tulisan yang ia rangkai.

Karena jika kita selalu beranggapan tulisan kita jelek maka sampai kapanpun kita tidak akan menulis apalagi sampai membiasakan menulis. Kita terkadang perlu tekanan yang bersifat eksternal untuk bisa memulai menulis, misalnya seperti tugas mingguan membuat artikel ini, atau karena butuh uang hadiah dari berlomba, atau untuk mendapatkan reward dari percetakan atau perusahaan. Walaupun yang terpenting dari menulis itu bukan untuk mengejar itu semua, tapi tersampainya ilmu bagi kita semua.

Maka dengan hadirnya dosen yang baru pertama tatap muka ini, dapat membuat saya dan juga teman-teman kelas untuk terus berlatih menulis. Dengan cara membiasakan terlebih dahulu dan menghilangkan rasa takut salah. Beliau memberikan pelampiasannya kepada mahasiswa karena keaktifan menulisnya ketika kuliah baru berawal dari semester VII. Sehingga beliau tidak menginginkan ada generasi yang memiliki nasib penyeasalan yang sama.
Cara mengajar yang rilex dan enjoy dengan variatif penilaiannya membuat daya tarik tersendiri bagi saya, walaupun ke semua itu tentu berefek positif dan negatif. Beliau sangat mengapresisi perbedaan, sebagaimana ungkapan Rosul “ikhtilafu ummati rohmah”. Berbeda yang tidak sekedar berbeda. Tapi berbeda yang membawa manfaat buat dirinya dan orang lain.

Saya pun angkat bicara untuk menguatkan diri saya pribadi dan juga teman-teman yang masih takut untuk mengetik keyboard. Untuk merangkai sebuah kata menjadi kalimat, kemudian menjadi paragraf, lalu kemudian terbentuklah sebuah karangan. “kita bisa memulai menulis biasanya dari pengalaman yang melibatkan pikiran, mata, bahkan tubuh kita entah itu dari membaca, mendengarkan ceramah, ataupun perilaku-perilaku yang lain”. Maka sangat tepat Ust. Mukhlis menyempatkan pikiran dan mata kita di kelas selama kurang lebih dua jam untuk merekam dan kemudian menuangkan ke dalam bentuk tulisan. Wallahu a’lam bisshowab

Apalah arti berburu ilmu
Tanpa jika menulis masih semu
Apalah arti jadi ilmuan
Jika satu pun tak ada tulisan
Apalah arti tulisan
Tanpa ulasan yang siginfikan
Tanpa makna yang memanfaatkan
Aku hadir menulis
Dari empiris-empiris yang realistis
Walaupun gagasan masih sadis
Karena tulisanku
Hadir dari membaca buku-buku
Walau dari fakta dan realita
Untuk ku tata
Menjadi ejaan makna
Walau masih jauh dari sempurna.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger