Maduraku adalah Jawaku dan Sebaliknya

Sabtu, 12 November 20160 komentar



http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2016/11/maduraku-adalah-jawaku-dan-sebaliknya.html


Tamen magik tombu sokon—Tabing kerrep bennyak kalana
Mompong gik odik kotu parokon—Mak olle salamet tengka salana.
(Menanam biji asam tumbuh sukun—Geddhek yang rapat banyak kalajengkingnya
Mumpung masih hidup harus rukun—Agar selamat tingkah lakunya)

Dari obrolan ringan ternyata menimbulkan banyak inti pokok permasalahan yang melanda diri, masyarakat dan dunia namun jarang sekali kita sadari. Hasilnya, jarang ada solusi yang tepat dan lebih banyak mengira-ngira dengan referensi yang cenderung dari lisan. Valid? Ah tidak mungkin, namanya juga obrolan menghabiskan malam.

Sekitar tengah malam, jam sebelas malam, di komisariat IPNU UIN Malang, penulis berbincang dengan salah satu kawan, yang berasal dari Pasuruan ditemani secangkir kopi dan separuh isi satu pak rokok. Ngelindur kesana kemari, tak juntrung serius membahas apapun. Lebih banyak bernostalgia daripada berdiskusi. Namun suasana cair itu tiba-tiba terhenti ketika sang madurese speaker (penulis) tidak menemukan kosa kata jawa untuk melanjutkan omongannya.

Berhubung saya hidup di Jawa Timur, tentu saya harus bisa beradaptasi dengan bahasa jawa. Bentuk komunikasi bahasa yang terbangun di Malang adalah bahasa Jawa, baik dengan tiga model bahasa Jawa (ngoko, kromo, kromo inggil) ataupun bahasa jawa Malangan (cenderung dibolak-balik). Karena tidak menemukan kosa kata yang dimaksud, akhirnya saya mencampuradukkan (code-switching–CS) bahasa saya (madura) dengan bahasa Jawa yang baru saja saya ujarkan.

Sedikit lama, dia mengernyitkan dahi, kemudian dia hanya tergelak dan mengangguk-angguk mengerti. Saya pun heran, apakah dia memahami arti bahasa madura yang saya ucapkan ataukah dia memahami perkataan saya berdasarkan konteks. Berdasarkan teori CS, tindakan ini dilakukan demi mempermudah komunikasi agar pembicara bahasa A (Jawa) tidak perlu terlalu lama memikirkan kosa kata yang sesuai, sehingga dia menggunakan bahasa B (Madura). CS pun bisa membantu etnik minoritas, seperti saya mempertahankan identitas budaya saya, seperti bahasa slang yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan identitas dan pula membedkan dari masyarakat yang lebih besar. Tapi saya lupa, bahasa A dan B itu khan seharusnya ada keselarasan, baik antara bahasa pertama (first language) dan bahasa kedua (second language) dan bahasa kedua orang yang berbicara, apakah sama atau tidak. Untung saja, sejak dia bergaul dengan madurese speaker seperti saya, dia memahami bahasa saya.

“Sepertinya ada kesamaan ya mus, antara Madura dan Jawa?”
“Maksudnya?”
“Ya, tadi khan kamu sebutkan, bahasa Madura pun dibagi menjadi tiga (enja’-iya, enggi-enten, enggi-bunten), sepertinya ada kesamaan. Bukankah dalam bahasa kromo inggil dan enggi-bunten (sebagai bahasa tertinggi keduanya) sering ada kosa kata yang serupa. Seperti panjenengan (kosa kata untuk merujuk kepada lawan bicara dengan halus). Entah kenapa aku paham bahasamu tadi,”ujarnya sambil menggaruk kepala.

Aku pun garuk-garuk kepala. Gak paham juga. Memang sebagian ada yang sama. Begitu pula halnya antara bahasa Indonesia (BI) dan Bahasa Jawa (BJ) atau BI dan Bahasa Madura (BM). Kami bisa menerka, beberapa kata di BI adalah kata serapan dari kedua bahasa lokal tersebut. Pun begitu, kedua bahasa daerah tersebut, sekarang mulai cenderung menyerap BI. Atas hasil kelakar, tanpa ada penelitian menyeluruh, hasil bincangan kami merujuk ke sana. Sebut saja kata roma dan bungkoh, dua kosa kata BM ini sama-sama bermakna rumah. Ada keserupaan morfologis antara roma dan rumah. Kawanku pun meyimpulkan asal-asalan, roma adalah kata serapan BM dari BI. Bagaimana pula dengan omah (BJ yang juga berarti rumah). Kawanku menjawab, “itu karena BI menyerap BJ.” “Ah, dasar orang Jawa.” Dia pun menimpali celetukanku barusan, “Ah, dasar orang Madura.” Kami pun tertawa terbahak-bahak.

Beralih pada beberapa kesamaan antara BJ dan BM, hasil bincang ngalor-ngidul kami menyatakan. Kesamaan itu terjadi karena asal-muasal BM adalah BJ. Melihat struktur geografis, sangat mustahil manusia pertama adalah orang Madura, melainkan Jawa. Beberapa orang Jawa yang menemukan pulau Madura, akhirnya menetap di sana. Atas dasar konstruksi bahasa, mereka pun berkomunikasi seadanya dengan BJ dan jika menemukan suatu hal yang baru mereka pun membentuk bahasa baru sebagai naluri alamiah berbahasa mereka.

Alasan kenapa mereka tidak menggunakan BJ, bisa jadi karena kosa kata BJ mereka tidak begitu lengkap dan akhirnya hasil perilaku bahasa mereka menjadi cikal bakal bahasa madura. Mereka yang barangkali terdampar di pulau Madura, sangat kesulitan untuk bepergian kembali ke Jawa karena kesulitan transportasi, sehingga mereka pun menetap di pulau Madura dan mencipta bahasa baru. yach, ini konsep pemerolehan bahasa yang mengacu pada human resourches (pola interaksi dengan manusia) dan natural resourches (pola interaksi dengan alam. Konsep milik Plato onomatopoeia (semua bahasa berasal dari peniruan bunyi-bunyi terakhir dengan ejekan dan karikatur) pun bisa dipakai di sini. Dan bisa jadi pula, manusia Jawa pertama berasal dari pulau Madura. Haha

Obrolan ringan ini berakhir tanpa penjelasan. Tiada bukti ilmiah yang bisa diajukan. Yang ada dibenak kami, bahasa lokal sudah dicemari bahasa Indonesia dan seterusnya, BI di-KO oleh bahasa Inggris dengan perilaku nginggris tokoh-tokoh bangsa.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger