Masjid Sejuta Kenangan

Selasa, 07 Februari 20170 komentar

http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2017/02/masjid-sejuta-kenangan.html


Tahun 2013 lalu tepatnya di bulan September saya menginjakkan kaki di tanah Malang. Sebuah kota yang kata banyak orang dingin dan bernuansa pendidikan. Hanya ada satu tujuan dan niat. Menjadikan diri saya ini bukan seorang pengangguran dengan mendapatkan gelar mahasiswa.

Sebagai mahasiswa yang hijrah ke kota orang tentu harus punya modal baik mental maupun materi. Dengan uang dua juta lima ratus ribu rupiah saya pun memberikan diri melancong untuk kuliah di kampus Univeristas Islam Malang.

Salah satu kampus swasta dibawah naungan Nahdatul Ulama yang saat itu masih menerima pendaftaran. Tiba di kota berjulukan kota wisata ini, saya tak punya tujuan untuk tinggal dimana. Ngekos ataupun ngontrak sesuatu yang tidak memungkinkan dengan kondisi isi dompet yang hanya dua lembar kertas berwarna merah bergambar soekarno hatta.

Dua hari dua malam saya berkeliling di daerah dinoyo dari masjid ke masjid. Tidak satupun seorang ketua takmir menerima saya untuk jadi marbot masjid. Akhirnya saya pun teringat sama seorang teman sewatku MAN JCC Pamekasan, bahwasanya teman saya itu punya paman di daerah Joyogrand tepatnya di Jl. Kanjuruhan Asri.

Saya dengan cepat berkunjung ke alamat ini, dan dengan senang hati saya melihat kubah masjid kecil berwarna hijau diantara perbatasan dua perumahan. Perumahan kanjuruhan asri dan perumahan tlogomas asri. Dua perumahan yang dibatasi kali kecil dan di atasnya berdiri tegak Masjid Ahlussunnah Waljamaah.

Saya pun diterima dengan penuh senang hati untuk tinggal di tempat ini. Hal ini tidak lepas dari bantuan paman teman saya untuk menawarkan dan mempromosikan segala kemampuan saya. Saya pun disambut dengan ramah oleh warga setempat setelah adzan dzuhur pertama saya kumandangkan di masjid ini.
Kamar berukuran 1,5 x 2 m disediakan untuk saya. 

Kamar di sebelah samping kanan masjid itu sangat bersih dan asri. Dedaunan bambu menjadi teman saat angin datang. Bunyi gesekan antar pohon ikut serta untuk memeriahkan kedatangan saya. Rumput hijau nan indah menari-nari dari pagi sampai pagi lagi. Sedikit tanda bahwa kehijauan tempat ini masih tidak jauh dari kampung halaman.

Kesepian tanpa teman. Kesendirian tanpa kenalan. Membuat hati ini diuji kemandirian yang sebenarnya. Setiap malam tiba, hanya bunyi angin yang saya rasakan. Terasa ingin cepat datang pagi. Saat tiba di waktu pagi rasanya pengen sekali cepat malam. Rasa itu terus menerus datang bergantian. Apakah ini tanda bahwa saya tidak kerasan. Ah.... abaikan saja, saya harus kuat. Ada dua buku yang kala itu menemani saya dalam tangisan ingat suasana rumah. Buku berjudul tanah palestina dan satunya novel berjudul sang kesatria langit.

Oshika maba pun dimulai di UNISMA. Hari-hariku dihabiskan bersama teman-teman baru dari kota-kota seluruh Indonesia. Saya pun mulai merasakan aura jabatan saya sebagai mahasiswa. Dan masjid Aswaja hanya menjadi persinggahan rasa ngantuk di malam hari. Kesibukan membuat saya lupa semuanya. Dan yang diingat akan tujuan dan niat saja di persinggahan yang mungkin empat tahun lamanya.

Waktu terus berjalan, aktifitas masjid pun mulai meriah dengan segala dukungan warga. Sehingga saya pun ditemani oleh teman baru yang datang ke masjid ini. Ada banyak teman yang pernah menjadi teman di kamar pojok masjid itu. Bahkan teman yang terahir bersamaku masih setia sampai saat ini.

Saya hanya ingin berterimakasih dengan penuh rasa hormat kepada Pak Yudi selaku ketua takmir waktu itu telah memberikan ruang dan kesempatan untuk saya hidup dalam dunia perkuliahan dengan dipersilahkan tinggal di Masjid ini. Dan om Aan yang memberikan jalan masuk untuk tinggal di masjid yang didanai oleh Abah Anton yang kebetulan menjadi Wali Kota Malang.

Warna yang indah di masjid beraviliansi Nahdatul Ulama ini mengajarkan banyak hal pada saya. Kuliah di perguruan tinggi sama sekali tidak cukup untuk modal hidup bisa berinteraksi di lingkungan masjid yang masyarakatnya beranika ragam faham. Memposisikan diri sebagai pendatang tentu akan selalu mendapat tantangan dari berbagai sudut pemikiran. Perbedaan yang perlu disikapi oleh pengetahuan sosial dan diatasi dengan sikap spiritual harus selalu seimbang.

Dengan modal ilmu agama saat Madrasah Diniyah di kampong akhirnya saya mampu hadir dari setiap apa yang dibutuhkan warga. Menjadi guru ngaji, doa-doa harian, bacaan-bacaan sholat dan ilmu-ilmu kesilaman yang lain. Itu semua menjadi kebanggaan saya, bahwa di kota besar seperti ini masih banyak ana-anak yang antusiasme belajar ngaji begitu tinggi. Sungguh saya pun tambah kerasan ditemani kurcaci-kurcaci setiap sore.

Satu tahun pertama di tempat ini membuat saya terbantu dari segala macama aspek. Mulai dari ekonomi sehari-hari, pengalaman sosial, dan pengamalan ilmu. Ketika masuk semeseter tiga di Unisma saya pun harus pamit untuk tinggal Ma’had Al-Ali Sunan Ampel tepatnya di UIN Maulana Malik Ibrahim. Saat saya pamit ke ketua takmir, bahwa tahun berikutnya saya akan kembali ke tempat ini lagi setelah kewajiban mahad selesai. Beliau pun menyetujui dengan penuh harap saya bisa kembali.
 
Dan tahun 2015 tiba, saya semester III Uin Maliki dan semester V di Unisma membuat hari-hari di Masjid ini tidak seperti tahun sebelumnya saya tinggal. Tanggung jawab besar dan beban moral yang sering saya tinggalkan membuat saya tidak pantas untuk tinggal di masjid ini lagi. Akhirnya saya disini hanya menghabiskan waktu satu tahun saja, atau selama dua semester di kampus. Setelah itu saya keluar tanpa mengurangi rasa hormat dan tetap menyambung silaturrahmi.  

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger