PEREMPUAN SEBAGAI PEACE BUILDER

Kamis, 08 Januari 20150 komentar

OLEH : MISBAHUDDIN
(Catatan Kuliah Umum dari ibu yunianti chuzaifah)

Bagaimana peran perempuan sebagai peace builder atau pembangun perdamaian? Kita sering mendapati bahwa pencipta damai, pembuat negosiasi untuk menyelesaikan konflik cenderung laki-laki, bapak-bapak, utamanya diranah publik.

Tetapi dari pertautan selama dia mendampingi dan bekerja di wilayah konflik bagaimana peran perempuan terutama juga yang terbaru adalah memastikan isu kekerasan berbasis agama tidak terjadi. Ini sangat menarik. Jadi bagaimana ruang domestik menjadi speech yang strategis banyak dilakukan oleh perempuan.

Melalui pengalaman beliau dalam menangani dayak-madura. Saat itu perempuan-perempuan adalah orang yang survifer tidak hanya untuk dirinya tapi juga memastikan proses evakuasi keluarganya untuk bisa selamat.

Karena laki-laki mudah teridentifikasi, mudah diserang sehingga perempuan menjadi negosiator ketika proses evakuasi. Dia melihat juga misalnya bagaimana perempuan ini disejumlah wilayah konflik yang paling mudah berinteraksi berkepentingan untuk membangun situasi damai di komoditasnya adalah biasanya perempuan.

Walaupun malamnya habis ada konflik, tetapi karena perempuan ini harus mengantar anaknya kesekolah, harus berinteraksi dengan tetangganya. Dan inilah peace builder di ranah yang paling micro yang dicoba dilakukan oleh para perempuan.

Di aceh misalnya, dicoba perempuan-perempuan juga mereformasi dan mentransfer perang sabil yang dulu dinyanyikan menjelang tidur oleh para perempuan. Dan hal ini juga terjadi di Palestin yang meprovok untuk perang, perang bagian dari perang sabil. Boleh banyak ditransfer dengan syair-syair yang berbeda untuk mencegah konflik terjadi.

Yang juga banyak dikembangkan oleh perempuan. Proses negosiasi tidak dilakukan diruang-ruang formal dengan mic. Cara pandang peace builder penyelesai konflik ini kan banyak takut pada pola-pola yang formalis sehingga para perempuan yang takut mic akan tidak ikut menjadi bagian dari proses negosiasi ini.

Mereka banyak menggunakan informal speace di sekolah-sekolah anaknya saat mengantar, di sumur, di pasar dan lain sebagainya. Inilah ruang-ruang yang biasanya dianggap sebagai ranah domestik untuk menghentikan proses tigmatisasi kepada etnis lain, pada agama lain, pada kelompok lain untuk membangun value baru di dalam keluarga tentang makna bersama dan berbinneka.

Hal ini sering tembus pandang dalam tradisi melihat peran perempuan sebagai bagian gerakan untuk peace bulider ini. Nah, yang dia juga dapati dari sejumlah wilayah  ada polisi-polisi perempuan kapolres yang bisa menghentikan atau mencegah konflik atas nama agama terjadi di wilayah tersebut.

Jadi perempuan-perempuan ini karena kemampuan lobinya yang cukup bagus. Dia berinteraksi dan bisa datangi tokoh-tokoh agama dan juga bisa ikut minum-minum kopi dengan preman-preman. Dia bisa ikut ngobrol bersama ibu-ibu PKK dan ibu darma wanita dan lain sebagainya. Tiada lain untuk membangun situasi damai itu.

Jadi pola-pola kepemimpinan banyak dilakukan bahkan seperti di Ceribon perempuan-perempuan bisa bernegosiasi dan membangun satu kondisi untuk mencegah supaya konsentrasi massa bubar menjelang penyerangan. Nah hal seperti ini perlu untuk diakui bagaimana peran perempuan untuk membangun upaya peace builder ini.

Tidak kalah pentingnya bahwa pola-pola tradisional dalam kultur Indonesia yang sangat rentang kearifan lokal. Itu juga banyak kita jumpai di sejumlah wilayah sebetulnya cukup punya akar dimana perempuan berkontribusi untuk mencegah konflik ini. Dan dalam tradisi islam kita lihat sejarah agama Rosulullah selalu melibatkan perempuan dalam proses basasen making perang akan dilakukan di dalam atau diluar.

Misalnya pada kasus perang uhud, perempuan sempat di tanya oleh rosul. “mau diluar atau di dalam kota?”. Maka perempuan menjawab jangan di dalam kota banyak anak-anak, banyak rumah akan hancur, banyak infrastruktur yang akan hancur. Sehingga rosulullah pun mendengar spirit ini atau aspirasi ini dan di putuskan perang untuk tidak dilakukan di dalam kota.


Jadi keputusan-keputusan penting untuk mendengar suara perempuan menjadi dorgen. Dalam kasus yang lain dulu di Amerika yang anggota parlemennya sejumlah perempuan keluar Wokot karena menentang penyerangan ke Irak. Jadi upaya-upaya damai ini penting untuk meletakkan perempuan sebagai poros untuk proses negosiasi, peace builder, dan sebagainya.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger