PMII sebagai penggerak PANCASILA

Sabtu, 04 Oktober 20140 komentar

PMII sebagai penggerak PANCASILA
PMII sebagai penggerak PANCASILA - Pancasila merupakan lima dasar, norma, dan nilai yang menjadi dasar, pandangan hidup bangsa, ideologi bangsa dan negara. Keberadaannya menjadi patokan sumber hukum, sekaligus juga sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini. Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Raktyat Indonesia, itulah lima dasar yang disebut Pancasila. Kelimanya termuat dalam tertib hukum tertinggi negara kita, yaitu Pembukaan UUD 1945.

Sedemikian pentingnya fungsi Pancasila dalam kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia. Seluruh aspek kehidupan di negara kita idealnya tidak dapat terlepas dari nilai-nilai Pancasila, termasuk dalam hal berpikir. Pancasila merupakan sebuah kerangka berpikir yang sangat tepat dalam menyikapi semua dinamika dan juga problematika di Indonesia. Pancasila merupakan dasar, norma, dan nilai yang asli berasal dari Indonesia. Norma dan nilai-nilai Pancasila diambil dari adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan, dan juga nilai-nilai religius yang terkandung dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu diakomodasi oleh para  founding father  kita sebelum membentuk sebuah negara. Sangatlah tepat bahwa Pancasila dijadikan sebagai landasan berpikir dalam menyikapi dinamika dan problematika yang terjadi di Indonesia.

Salah satu dinamika yang sekaligus juga merupakan sebuah problematika pada saat ini adalah bagaimana mewujudkan pembangunan masyarakat. Pembangunan masyarakat yang dimaksud adalah pembangunan dalam semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, dan sebagainya. Pembangunan tersebut bertujuan untuk menuju Indonesia yang lebih baik sekaligus mencapai tujuan negara yang ada dalam Pembukaan UUD 1945. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah ‘siapa yang melakukan pembangunan?’ dan ‘apakah pemerintah itu?’
Asumsi awalnya pastilah pemerintah yang melakukan pembangunan masyarakat tersebut. Pemerintah memang memiliki kewajiban untuk itu. Namun, apakah kita akan diam saja ketika pemerintah tidak atau belum tanggap terhadap hal tersebut? Bayangkan saja ketika ada sekelompok masyarakat yang berada di sekitar kita. Mereka sangat terbelakang. Mereka butuh bimbingan untuk maju, tetapi pemerintah belum sampai ke sana. Apakah kita akan diam saja? Mana kewajiban moral kita sebagai mahasiswa? Mahasiswa adalah agen perubahan.


Mahasiswa memiliki kewajiban moral untuk memberikan sebuah perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.Kemudian, bagaimana dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII? Bagaimana posisi PMII?
Mahasiswa memiliki kewajiban moral sebagai agen perubahan. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai sebuah organisasi kader diharuskan mampu mencetak kader-kader sekaligus calon-calon pemimpin bangsa yang bisa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu melakukan sebuah pembangunan dalam masyarakat.
Sebelum melangkah jauh ke sana, PMII memiliki pekerjaan yang sangat rumit. Tak mudah menciptakan kader-kader seperti yang diharapkan. Banyak masalah yang harus dihadapi, terutama masalah loyalitas kader. Tapi apapun masalah yang dihadapi, PMII harus tetap konsisten mendidik, melatih, dan menanamkan nilai-nilai yang benar-benar diperlukan oleh setiap kader. Penanaman nilai-nilai Pancasila sangat diperlukan dalam tingkat kaderisasi. Pancasila menjadi landasan berpikir PMII dalam mewujudkan pengembangan pembangunan masyarakat sangatlah tepat. Hal ini merupakan konsekuensi dari kata 'Indonesia' dalam nama PMII. PMII merupakan sebuah organisasi gerakan yang berbasis nasional. Oleh karena itu, PMII wajib menjunjung tinggi falsafah atau pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.Kader-kader PMII terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Mulai ilmu-ilmu agama islam, pertanian, kedokteran, matematika dan sains, teknik, politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Berkaitan dengan penggunaan Pancasila sebagai landasan berfikir PMII dalam mewujudkan pembangunan masyarakat, setiap disiplin ilmu pasti mempunyai prespektif tersendiri dalam menyikapinya. Begitu pula hukum. Ranah ilmu hukum memiliki perspektif sendiri terkait hal tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat). Hal tersebut termaktub dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsep negara hukum merupakan sebuah konsep negara hukum yang berasal dari Eropa Kontinental. Pengadopsian konsep hukum tersebut lebih cenderung merupakan warisan sejarah penjajahan Belanda. Negara hukum Indonesia memang negara hukum rechstaat. Namun, bukan berarti negara hukum rechstaattersebut sama persis seperti negara hukum rechstaat di Belanda. Indonesia mempunyai sebuah konsep negara hukum rechstaat sendiri, yaitu negara hukum yang berdasarkan Pancasila.
Pancasila adalah sebuah fondasi berbangsa dan bernegara kita. Begitu pun dalam kaitannya dengan konsep negara hukum Indonesia. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di negeri ini. Nilai – nilai Pancasila sudah seharusnya memberikan sebuah warna pada setiap produk hukum di Indonesia, baik dalam tataran pembentukan, pelaksanaan, maupun penegakannya.
Pancasila merupakan sebuah dasar bagi pembentukan produk hukum nasional. Pembentukan produk hukum nasional tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan tujuan negara yang termuat dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan tersebut antara lain : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Penerapan nilai-nilai Pancasila secara konsisten dan konsekuen pada setiap pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan suatu produk hukum sangatlah mutlak adanya. Dengan begitu, tujuan negara Indonesia akan tercapai.
Konsekuensi lebih lanjut dari negara hukum dan juga adanya produk hukum yang mengiringinya adalah adanya masyarakat yang sadar hukum, adanya sebuah kepastian hukum, adanya penegakan hak-hak masyarakat, dan juga terjaminnya sebuah keadilan. Itu idealitasnya. Realitasnya? Apakah sudah demikian? Jawabnya pastilah tidak. Pertanyaan lebih lanjut adalah, apa yang salah? Atau siapa yang salah? Pertanyaan tersebut hendaknya dijadikan sebuah introspeksi diri bagi semua elemen yang ada di negara ini. Mulai dari para birokrat, para legislator, para penegak hukum, mahasiswa, dan masyarakat.
Kesalahan tersebut sebenarnya bisa ditelusuri. Dimulai dari para legislator kita yang ada di Senayan. Dilihat dari tahap pembentukan produk hukumnya saja, sudah ada sebuah ketidakberesan di sana. Kita bisa lihat anggota dewan sekarang ini seperti apa. Seorang anggota dewan sudah seharusnya paham tentang mekanisme pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan. Namun, kebanyakan mereka tidak tahu menahu terkait hal itu. Kebanyakan mereka hanya menjalankan politik praktis dengan tujuan yang berbeda-beda, mulai dari mengincar jabatan,  kehormatan sampai memperkaya diri sendiri. Inilah kesalahan awalnya.


Kita semua tahu bahwa hukum itu merupakan sebuah produk politik. Bisa dikatakan, produk hukum anggota dewan kita nyata-nyata adalah hasil ‘kesepakatan bersama’ politik mereka. Banyak produk hukum yang mereka hasilkan dan sebagian besar produk tersebut diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuaasaan. Kondisi ini memunculkan asumsi bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai sebuah penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, dan juga penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan, dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum.
Selanjutnya adalah permasalahan pelaksanaan produk hukum tersebut. Ada sebuah adagium yang berbunyi “een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen” yang berrati semua orang dianggap tahu hukum/undang-undang. Kemudian, ada adagium lagi yang menyebutkan “ignorantia iuris neminem excusat” yang berati ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak bisa dijadikan alasan pemaaf. Pelaksanaan produk hukum tersebut masih belum efektif. Sosialisasi terkait produk hukum belum efektif. Akibatnya, banyak pelanggaran yang terjadi. Naasnya, dalih yang digunakan adalah ketidaktahuan mereka terkait produk hukum tersebut. Padahal, kita tahu bersama bahwa pembuat produk hukum tersebut adalah anggota DPR yang merupakan wakil atau representasi dari rakyat. Rakyat seharusnya tahu apa yang dilakukan oleh wakilnya. Hal itu dikarenakan notabene produk hukum tersebut digunakan untuk membatasi hak-hak masyarakat agar tidak terjadi ketimpangan dalam kehidupan  bermasyarakat.


Kemudian dalam tingkat penegakan, banyak sekali permasalahan yang muncul. Ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum di Indonesia ini tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Artinya, penegakan hukum di Indonesia ini terkesan hanya kritis terhadap kaum yang berekonomi rendah dari kaum yang punya ekonomi tinggi. Makelar kasus, hakim disuap, koruptor dihukum ringan, dan sebagainya berulang kali kita dengar di berbagai media massa. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat bahwa hukum itu diadakan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Baik itu yang berekonomi tinggi maupun rendah. Hukum diciptakan untuk menjamin hak-hak masyarakat sekaligus menjamin adanya sebuah keadilan dalam masyarakat. Jika kenyataannya seperti itu apakah hak masyarakat sudah terjamin? Apakah ada sebuah keadilan disana?Kembali lagi pada pembangunan masyarakat. Terkait dengan hal ini, pembangunan masyarakat sangatlah diperlukan. Pembangunan yang difokuskan pada pembenahan kompetensi, pembenahan moral, dan kesadaran hukum masyarakat. Kita butuh legislator-legislator yang benar-benar berkompeten. Kita butuh para penegak hukum yang benar-benar konsisten dan benar-benar konsekuen dalam penegakan hukum di Indonesia. Sistem boleh buruk. Budaya boleh buruk. Asalkan ada orang-orang yang berkeinginan kuat untuk merubahnya, pasti yang buruk tersebut akan berubah. Sudah menjadi keniscayaan bahwa hal ini merupakan salah satu kewajiban moral mahasiswa sebagai agen perubahan, terutama bagi mahasiswa hukum.


Korelasinya dengan nilai-nilai Pancasila adalah bahwa pembangunan masyarakat dalam bidang hukum adalah kemampuan untuk menciptakan keadilan sosial. Semua orang harus dianggap sama di depan hukum (equality before the law). Semuanya memiliki hak, baik yang berekonomi rendah maupun yang berekonomi tinggi, baik yang punya jabatan maupun yang tidak. Sekali lagi PMII sangat berperan penting. Penanaman nilai-nilai Pancasila dalam setiap langkah membina kader sangat mutlak.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger