Indahnya Tahun Baru di Panderman

Minggu, 01 Januari 20170 komentar



http://misbahuddinalmutaali.blogspot.com/2017/01/indahnya-tahun-baru-2017-di-panderman.html

Panderman nama gunung itu. Salah satu bagian dari Pegunungan Putri Tidur. Putri Tidur terdiri dari Gunung Butak (wajah), Gunung Kawi (bagian tangan yang bersedekap) dan Gunung Panderman (bagian kaki). Dari kejauhan, ketiga gunung ini benar-benar seperti seorang putri yang sedang tidur. Dari sebelah kontrakan saya Perumahan Graha Joyo Family, gunung ini terlihat begitu 'gagah' menaungi Kota Batu dan Malang. Setiap berangkat dan pulang ke UNISMA, mata ini selalu terpana melihat ke arahnya.


Pegunungan Putri Tidur di Pagi hari

 Saat Senja

Dikutip dari Wikipedia, Panderman berasal dari nama seorang Belanda yang mengagumi gunung tersebut pada masa penjajahan, Van Der Man. Oleh 'lidah lokal' nama tersebut kemudian menjadi Panderman. Memiliki tinggi sekitar 2046 mdpl, gunung ini terlihat begitu jelas dari Kota Batu, juga dari beberapa sudut Kota Malang. Gunung ini biasanya didaki untuk pemanasan sebelum ke Semeru atau Arjuno. 

"Ayo semangat, teman-teman...! Lah ini kita baru mau mulai belum ada apa-apanya...", teriak salah satu teman saya. Baru kurang lebih sekitar 15-20 menit kami berjalan dari pos pendaftaran, rombongan kami bertujuh ini sudah pada ngos-ngosan. haha!

Hari sabtu itu, tepatnya tanggal 31 Desember 2016, saya bersama dengan teman-teman dari Matematika UNISMA (Kastrui, Dilah, Naswa) serta Syafi (baru lulus UB), Udin (teman Naswa dari Pasuruan) dan Dhika (dari Batu), memantapkan langkah mendaki Gunung Panderman. Rencana awal berangkat jam 10 pagi, namun apalah daya akhirnya baru terealisasi pukul 11.15 lewat (hiaaa! cewek mah gitu orangnya).

Meeting point kami di Dhika (daerah Batu). Setelah segala persiapan pendakian siap, kami sholat dzuhur dulu, setelah semuanya berkumpul dan siap mendaki, berangkatlah kami menuju Desa Pesanggrahan, Kota Batu. Kami sampai di pos pendaftaran pendakian sekitar pukul 14.00 siang, setelah itu membayar Rp 7.000/orang dan menuliskan nama kami pada buku tamu (hal ini dilakukan agar terdata siapa saja pendaki yang naik jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan). Cukup rame. Karena kebetulan moment kami kali ini bertepatan dengan pergantian tahun baru 2017. Jadi nantinya kami akan bertemu banyak rombongan pendaki yang lain. Tak apalah, tetap semangat!

Trek awal yang kami lewati masih tergolong mudah, jalan setapak dengan kebun milik penduduk disamping kiri kanan. Sayuran segar nan hijau sungguh menyejukkan mata. Jalanannya pun masih tergolong landai. Semakin naik, jalan setapak yang kami lewati semakin menyempit. Jarak pandang kami terbatas karena tertutup rumput gajah yang tinggi menjulang.

Sampai di pos pertama Latar Ombo (1600 mdpl) pukul 14.30 siang. Kami rehat sejenak disini. Latar Ombo ini digunakan oleh para pendaki untuk mendirikan tenda karena berupa area datar yang lumayan luas. Biasanya pendaki menginap disini untuk kemudian melanjutkan lagi ke puncak. 



Tidak berlama-lama disini, kami meneruskan perjalanan kembali. Mulai dari pos Latar Ombo sampai dengan pos selanjutnya, jalur yang kami lalui semakin sulit dan menanjak. Alhamdulillah semangat kami masih terjaga. Sambil terus mengatur nafas, menahan pegal di bagian kaki, perlahan tapi pasti kami melanjutkan langkah.

Sekitar pukul 15.00 kami sampai di pos kedua yaitu Watu Gede (1730 mdpl). Trek yang harus kami lewati semakin sulit dan kemiringannya mencapai 45 derajat. Kami berpegangan pada akar-akar pohon. Medan yang lembab dan jalur bebatuan cukup menghambat langkah kami.

 

Setelah pos Watu Gede, jalanannya semakin mengerikan lagi, saudara-saudara. Amat curam, juga licin. Penting sekali membawa tongkat. Sambil jalan terlintas pikiran, bagaimana kalau tiba-tiba jatuh terpeleset kemudian langsung dipanggil Allah?! heheh.


Mendekati puncak, kami harus menyusuri bagian lereng. Terpeleset sedikit saja, aaak! tidak bisa membayangkan. Terjun bebas langsung ke bawah sana. Unidentified. Haha. Kota Batu terlihat jelas dari lereng ini namun sesekali tertutup awan dan kabut yang menyelimuti. Saya Kasturi dan Naswa sudah sampai puncak terlebih dahulu. Dilah, Syafi, Dhika dan Udin tertinggal (karena beban yang dibawa mereka cukup berat, haha kasian… semangat pecinta gunung!).

Kurang lebih pukul 16.30 sore, Alhamdulillah Allah mampukan semua langkah-langkah lelah kami mencapai Puncak Basundara (2046 mdpl). Tidak ada yang tertinggal, personel lengkap. Saat kami sampai di puncak sudah banyak tenda yang berdiri tegap. Dalam pendakian ini sholat menjadi prioritas kami sehingga kami pun sholat Asar secara berjamaah dalam dua kloter. Kami lalu beristirahat dan sibuk dengan diri masing-masing (ada yang foto-foto, tafakur, nyari spot indah, keliling sana-sini).

 
Kami pun menikmati malam dengan cerita-cerita kocak yang berbau evaluasi akhir tahun. Diantara kami (saya, Dilah, dan Kasturi) saling memberikan teguran dan harapan agar kehidupan selanjutnya bisa lebih baik. 



Tepat pukul 00.00 tengah malam gemerlap kembang api dari Pusat kota dan di kaki panderman pun mulai terlihat melalui atas Panderman. Semua pendaki panderman pun menikmati indahnya pemandangan tersebut.

Lihatlah dibawah sana Kota Batu bagai serpihan genting. Rumah-rumah terlihat begitu kecil, apalah lagi manusianya. Tak terlihat sama sekali. Mungkin seperti itu pula para 'makhluk langit' memandang kita dari atas sana. Yang membuat kita 'dipandang dan didoakan' dari atas sana adalah shalawat kita atas junjungan Rasulullah SAW, serta dzikir dan istighfar yang kita panjatkan.  


Dan tibalah waktu kami untuk dipanggil sholat subuh berjamaah. Di tengah tenda-tenda yang sepi, kami bangkit melawan rasa ngantuk untuk tidak meninggalkan kewajiban berupa sholat Subuh berjamaah. Sambil menunggu matahari bersinar kami isi dengan lantunan ayat Al-quran untuk menyejukkan hati disamping kesejukan gunung.

Matahari pun bersinar dengan bergantian dengan kabut lereng pegunungan. Kami pun mencuri-curi pemandangan indah melalui jepretan Camera HP Oppo. Dan ini dari sedikit hasil jepretan kami.




Dan kemudian saya belajar bahwa pendakian gunung bukan hanya tentang sampai di puncak, membuktikan "kehebatan" dirimu, kekuatanmu. Itu tentang menaklukkan diri sendiri; rasa takut, rasa lelah, rasa sombong, rasa minder, rasa tidak mampu.

Itu tentang menaklukkan ego; rasa ingin sampai puncak duluan, terlihat lebih hebat, lebih kuat dan bertenaga. Sejauh mana engkau menahan diri untuk menunggu temanmu yang masih terengah-engah mengatur nafas. Sejauh mana kau rela berbagi milikmu yang sedikit demi kebaikan bersama.

Itu tentang menaklukkan batasan diri; bahwa kaki kecil, nafas yang memburu kembang-kempis, tenaga yang senin-kamis itu (dengan izin Allah) mampu menapak tiang pancang bumi-Nya (yang membatasimu hanya tekad dalam diri, Quit or No! Lanjutkan atau hentikan!).

Setelah pendakian, kamu akan memiliki perspektif berbeda tentang kehidupan, tentang hidup, juga hidupmu. Jika kamu masih muda, masih punya cukup banyak cadangan energi untuk menjalani hari-hari, mendakilah! Mari habiskan 'masa penuh energi' dengan mendatangi puncak-puncak tinggi, yang menjadikan kita rendah. Apa yang kita lakukan saat ini, jadi bekalan cerita untuk penerus kita kemudian. So, cerita seperti apa yang sudah kamu buat?!?



 "Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk". QS Al-Anbiya : 31

 Misbahuddin, Malang 01-01-2017


Share this article :

Posting Komentar

 
Support : SalamuN RespectoR | Johny | Tutorial Software
Copyright © 2014. MisbahPost - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by SalamuN RespectoR
Proudly powered by Blogger